Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَا
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” (QS. Al-Baqarah: 170)
▬▬▬
Gaya beragama ikut-ikutan seperti yang Allah firmankan dalam Surat Al-Baqarah ayat 170 di atas itu adalah gaya beragamanya kaum jahiliyah, di mana kita diperintahkan oleh syariat untuk menyelisihi kaum jahiliyah. Adapun agama Islam adalah agama dalil, agama hujjah, agama ilmu, bukan agama ikut-ikutan. Yang dimaksud dengan dalil adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah (hadits) Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Sunnah Nabi dalam ayat di atas maksudnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka inti dalil dalam agama itu adalah Al-Qur’an dan Sunnah, karena agama itu dasarnya adalah wahyu dan wahyu itu bentuknya berupa Al-Qur’an sebagai firman Allah dan Sunnah sebagai sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul pun tidak mengatakan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu dari Allah, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Faidah dari Al-Ustadz,
BENI SARBENI, Lc, M.Pd.
Hafidzhahullah