Selanjutnya diantara buah keikhlasan di dunia adalah sebagai berikut:
Keempat, Ikhlas itu menjadikan amal semakin besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ – وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ – إِلاَّ أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِى كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنَ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ
“Tidaklah seseorang bersedekah dari harta yang baik – dan Allah tidak menerima kecuali dari harta yang baik (halal) – kecuali Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya walaupun berupa satu biji kurma, dan dia akan berkembang di telapak tangan Ar-Rahman hingga menjadi lebih besar dari gunung sebagaimana seseorang diantara kalian membesarkan anak kudanya atau anak untanya”. (HR. Bukhari & Muslim)
“Itu terjadi karena keberkahan shadaqah dan karena sempurna keikhlasan pelakunya, karena itulah anda dapati bahwa kebanyakan penyakit dalam shadaqah adalah riya.” (A’amul Qulub, 1/ 87)
Terkadang seseorang melakukan sedikit amal, akan tetapi hasil yang ia dapatkan adalah besar, tidaklah demikian terjadi kecuali karena apa yang ada dalam hatinya.
Abu Bakar bin Ayyasy rahimahullah berkata:
“Tidaklah Abu Bakar mengungguli kalian karena banyaknya puasa, tidak pula karena banyaknya shalat, akan tetapi karena sesuatu yang menetap dalam hatinya.” (Miftahu Daris Sa’adah, 1/ 82)
Kelima, Orang yang ikhlas itu bisa bertahan dalam amalnya dan tidak terputus.
Keikhlasan itu menjadikan pelakunya bertahan dalam amal yang ia lakukan, sebabnya adalah karena orang yang ikhlas meyakini akan janji Allah dan ridha walau ditangguhkan, dia pun senantiasa mengharap pahala dari Allah dalam musibah. Adapun orang yang beramal karena kepentingan lain, maka amalnya akan terputus ketika kepentingan itu tidak ia dapatkan.
(Disarikan dari kitab ‘Amalul Quluub, karya Syaikh Khalid Utsman As-Sabt)
Faidah dari Al-Ustadz,
BENI SARBENI, Lc, M.Pd.
Hafidzhahullah