Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه “Tidak halal bagi seseorangpun untuk mengambil pendapat k
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi seseorangpun untuk mengambil pendapat kami selama dia belum tahu darimana kami mengambilnya.” (Irsyadun Nuqad Ila Taisirul Ijtihadi, 145)
▬▬▬
Oleh sebab itu ketika kita mempelajari perkataan para ulama, yang paling penting adalah mempelajari darimana sumbernya dan apa dalilnya. Karena itu Al Imam Malik rahimahullah mengatakan,
كل كلام منه ذو قبول ومنه مردود سوى الرسول
“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa pula ditolak, kecuali perkataan Rasul.” (Durus Lil Syaikh Abi Ishaq Al-Huwaini, 5/7)
Seringkali manusia mendahulukan perkataan seorang ulama daripada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ada seseorang berpendapat, kemudian dibawakan hadits yang bertentangan dengan pendapat tersebut, ia pun bersikeras dengan pendapatnya.
Ulama itu memang punya kedudukan, harus dihormati dan diagungkan, tapi bukan berarti sampai disucikan, karena tidak ada ulama yang maksum.
Para ulama ketika berijtihad, apabila ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, apabila salah maka ia mendapat satu pahala. Tapi ketika kita tahu bahwa perkataannya salah berdasarkan dalil, maka jangan kekeh dengan pendapat ulama tersebut.
Oleh karena itu Al Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata,
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, mhadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid kepadaku.” (Adab Asy-Syafi’i (hal. 93))
Faidah dari Al-Ustadz,
BENI SARBENI, Lc, M.Pd.
Hafidzhahullah