Kaidah Ketujuh: Wajib Bagi Seorang Hamba Sebesar Apapun Istiqamahnya Agar Tidak Bersandar Kepada Amalannya

KAIDAH KETUJUH: WAJIB BAGI SEORANG HAMBA SEBESAR APAPUN ISTIQAMAHNYA AGAR TIDAK BERSANDAR KEPADA AMALANNYA

Oleh: Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr

Wajib bagi seorang hamba agar ia tidak bersandar kepada amalannya meski sebaik dan selurus apapun istiqamahnya. Ia tidak boleh tertipu dengan ibadahnya, tertipu dengan banyaknya berdzikir kepada Allah atau amalan-amalan ketaatan lainnya.

Berkenaan dengan makna ini, Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

وَالْمَطْلُوْبُ مِنَ الْعَبْدِ الْإِسْتِقَامَةُ وَهِيَ السَّدَادُ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا فَالْمُقَارَبَةُ، فَإِنْ نَزَلَ عَنْهَا فَالتَّفْرِيْطُ وَالْإِضَاعَةُ، كَمَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِ الَّنِبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ.

“Yang dituntut dari seorang hamba dalam istiqamahnya adalah ia senantiasa berlaku lurus (Assadad). Apabila dia tidak mampu mengerjakannya, maka hendaknya ia mendekati (muqorobah), maka apabila lebih rendah lagi dari muqorobah maka dia telah jatuh kepada tafrith (mengentengkan) dan idho’ah (menyia-nyiakan), sebagiamana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau besabda:”

“‘Tujulah (kebenaran), mendekatlah dan bergembiralah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga oleh amalnya’. Mereka bertanya: ‘Tidak juga Engkau, wahai Rasulullah?’ beliau menjawab: ‘Tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat-Nya padaku’.”

Maka terkumpullah di dalam hadits ini seluruh tingkatan agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk istiqamah, yaitu berlaku lurus dan benar didalam niat, ucapan dan perbuatan.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pula telah mengabarkan pada hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu:

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةُ

“Beristiqamahlah kalian dan jangan menghitungnya. Ketahuilah bahwa amalan-amalan kalian yang terbaik adalah shalat.”

Bahwa mereka ini sejatinya tidaklah sanggup (melakukan istiqamah), karena itulah mereka berpindah ke muqorobah yaitu mendekati istiqamah sebatas kemampuannya. Layaknya orang yang melempar kesuatu target yang apabila tidak mengenainya maka setidaknya dia mendekati target tersebut.

Meski demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengabarkan kepada mereka bahwa istiqamah dan muqorobah itu sejatinya tidak dapat menyelamatkan mereka di hari kiamat. Oleh karena itu janganlah seseorang bersandar kepada amalannya semata dan merasa bangga dengannya. Jangan pula ia memandang bahwa keberhasilannya adalah disebabkan dari amalanya. Namun keberhasilannya tersebut adalah rahmat dari Allah, ampunan dan keutamaan-Nya.1

Bersambung in syaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ainun Wahidin, Lc. dari kitab:
‘Asyru Qawaa’id Fil Istiqaamah, Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr


Footnote

[1] Madarijus Salikin 2/105.