BEBERAPA KAIDAH DALAM MANHAJ SALAF #1

Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

Kaidah pertama: kaidah dalam amar makruf nahi mungkar (perintah untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan perbuatan yang keji).

Yang dimaksud dengan makruf (kebaikan) adalah semua ketaatan, dan kebaikan yang paling agung adalah ibadah kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya, juga memurnikan ibadah (ikhlas) hanya untuk Allah, serta meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Adapun seluruh ketaatan lainnya, baik yang wajib maupun yang dianjurkan, maka mengikuti (dilaksanakan) setelah tauhid. (Lihat kitab: Al-Amru Bil Ma’ruuf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Syaikhul ‘Allaamah Shalih Al-Fauzan (hal. 6))

Sedangkan kemungkaraan adalah segala yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka semua maksiat dan bid’ah adalah kemungkaran, dan sebesar-besarnya kemungkaran adalah menyekutukan Allah ‘azza wa jalla (kesyirikan). (dari sumber yang sama dengan terdahulu)

Amar makruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah bagi umat islam, bukan fardhu ‘ain; jika ada orang yang telah mencukupi telah melaksanakan kewajiban ini, maka orang lain yang tidak turut serta tidak berdosa. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar, maka semua orang berdosa. (lihat kitab: Al-Amru bil Ma’ruuf Wan Nahyu ‘anil Munkar, karya syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, (Hal. 14 dan halama setelahnya)).

Allah ta’ala berfirman:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

Barangsiapa yang ingin memerintahkan mengerjakan kebaikan dan mencegah dari mengerjakan kemungkaran, maka ia harus memiliki ilmu tentang apa yang ingin ia perintahkan dan ilmu tentang apa yang ingin ia larang, hendaknya ia bersikap ramah dalam mengajak kepada kebaikan dan ramah dalam melarang dari kemungkaran, serta bersikap lemah lembut dalam mengajak kepada kebaikan dan lemah lembut pula saat melarang dari kemungkaran.

Ilmu harus terpenuhi sebelum mengajak, sedangkan keramahan dan kelemahlembutan harus berbarengan dengan ajakan. Jika ia bukan orang yang berilmu, maka ia tidak boleh melakukan sesuatu tanpa ilmu. Jika ia berilmu namun tidak santun, maka ia seperti dokter yang tak ramah, kemudia ia bersikap kasar kepada pasien yang sakit, tentunya ia akan ditolak oleh pasien itu, dan ia juga seperti pendidik yang kasar yang tidak diterima oleh anak”.

Allah berfirman kepada Musa dan Harun:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Tha Ha [20]:44)


Pada prinsipnya, tatkala mengajak atau melarang itu tidak boleh menyakiti, akan tetapi harus bersabar dan santun. Sebagaimana yang Allah firmankan:

وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman [31]: 17)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata:

“Diwajibkan kepada orang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran untuk mengajak dan melarang karena Allah, bertujuan untuk taat kepada Allah, mengharapkan kebaikan bagi yang diajak, dan bertujuan untuk menegakkan hujjah kepadanya. Hendaknya ia tidak bertujuan agar orang yang diajak mendukung dirinya dan kelompoknya, dan bukan pula bertujuan untuk merendahkan orang lain.

Prinsip dalam agama Islam adalah cinta karena Allah, benci karena Allah, mendukung karena Allah, memusuhi karena Allah, beribadah hanya kepada Allah, memohon pertolongan hanya kepada Allah, takut kepada Allah, berharap kepada Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah.

Semua hal di atas tidak mungkin terwujud kecuali dengan ittiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mana perintah beliau adalah perintah Allah, larangan beliau adalah larangan Allah, memusuhi beliau adalah memusuhi Allah, taat kepadanya adalah taat kepada Allah dan maksiat kepadanya adalah maksiat kepada Allah.” (ringkasan dari ucapan Syaikul islam Ibnu Taimiyyah)

Kaidah kedua: kaidah dalam ibadah.

Prinsip dalam ibadah adalah menahan diri (maksudnya adalah bahwa ibadah itu tidak valid dan tidak perlu dihiraukan kecuali ditetapkan oleh syari’at), karena Allah memerintahkan agar mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengikuti dalam perkara yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan dalam kebiasaan duniawi).

Allah berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31)

Dan Allah berfirman:

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa [4]: 13)

Dalam Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya beliau mencium hajar aswad, seraya berkata:

إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sungguh aku mengetahui bahwa engkau itu hanyalah sebongkah batu yang tidak dapat memberikan madarat dan manfaat. Seandainya bukan karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku pun tidak akan menciummu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan telah berlalui ucapan sebagian salaf:

اتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ

“Hendaklah kalian ittiba’ dan janganlah berbuat bid’ah karena kalian telah dicukupi (dengan Sunnah).”

Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa di antara syarat diterima amal adalah memurnikan ittiba’ hanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Banyak sekali dalil-dalil dalam Al-Quran dan Sunnah yang memerintahkan untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, dan melarang bermaksiat kepada Allah dan bermaksiat kepada Rasul-Nya. Tidak seorang pun yang diperbolehkan keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh sunnah serta keluar dari petunjuk Al-Kitab dan Sunnah dan dari apa yang telah ditempuh oleh salaf umat ini.

Kaidah ketiga: kaidah bahwa agama berpusat pada ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Kebaikan itu terbatas hanya pada dua perkara: pada ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus oleh Allah dengan dibekali sesuatu paling utama itu; Al-Huda dan Ad-Diinul Haq, agar menjadi pemenang di atas semua agama lainnya. Al-Huda adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan Ad-Diinul Haq adalah amal saleh.”

Beliau juga berkata:

“Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengikuti salaf shalih tidak berbicara dalam perkara agama kecuali mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti Al-Quran dan Sunnah, adapun ahli bid’ah, maka mereka tidak berpedoman kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta peninggalan salaf shalih, akan tetapi mereka berpedoman kepada akal, bahasa dan filsafat.” (ringkasan dari ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah)

Bersambung in syaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi, Ad-Daarul Atsariyyah, 2012 M