INDAHNYA HIDUP DENGAN AKIDAH YANG BENAR
Oleh Ustadz Abu Sumayyah Beni Sarbeni
Setiap orang di mana pun dan kapan pun dia berada senantiasa mengharapkan kenikmatan hidup, ada di antara mereka yang mengetahui hakikat untuk mendapatkannya, ada juga yang tersesat seraya mengeluarkan segenap tenaga, akan tetapi apa yang diinginkannya tidak pula diraih.
Islam sangat jelas menerangkan cara untuk mendapatkannya, malamnya bagaikan siang sehingga tidak ada orang yang berpaling darinya kecuali dia akan celaka.
Islam mengajarkan bahwa, jaminan keindahan hidup diawali dengan akidah yang benar, karena ia merupakan pondasi amal shalih, yang mampu mewujudkan surga dunia dan akhirat.
Dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوٓا إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzhaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-An’am [6]: 82).
Kedzhaliman yang dimaksud dalam ayat di atas, adalah kesyirikan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari shahabat Ibnu Mas’ud.
Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa, mereka yang beriman lagi tidak mencampur adukan keimanannya dengan kesyirikan maka ia akan mendapatkan keamanan, baik keamanan di dunia maupun di akhirat.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl [16]: 97).
Ketahuilah, al-Qur’an yang mulia menunjukan bahwa, amal shalih adalah amalan yang memenuhi tiga syarat:
Pertama: Sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Amal tersebut dilakukan dengan ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala
Ketiga: Amal tersebut dibangun di atas landasan akidah yang shahih, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman”.
Allah subhanahu wa ta’ala membatasinya dengan iman, artinya jika dia tidak beriman niscaya amal perbuatan tersebut tidak akan Allah subhanahu wa ta’ala terima. (diringkas dari Adwaul Bayan buah karya Syaikh Amin as-Syinqithi).[1]
Jadi amal shalih tidak bisa ditimbang dengan timbangan perasaan atau makna yang difahami oleh masyarakat, walaupun secara nilai universal dalam masyarakat satu amal perbuatan dianggap baik, akan tetapi belum tentu dalam timbangan syariat Islam.
Kembali kepada bahasan awal, bahwa akidah yang benar adalah syarat mutlak kebahagiaan sejati itu bisa diraih.
Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan hayatan thayyibah (kehidupan yang baik) di dunia, dan pahala yang jauh lebih baik di akhirat kelak, itu semua diperuntukan bagi orang yang beramal shalih, yang tentunya amal perbuatan tersebut di atas pijakan akidah yang benar.
Dan masih banyak hal lain yang menjadi keutamaan akidah yang shahihah, yang intinya bahwa akidah shahihah.
Inilah yang akan mewujudkan kita sebagai manusia seutuhnya, dan sebagai hamba Allah yang sejati, yang dipenuhi dengan rasa cinta, takut dan harap hanya kepadaNya, yang pada akhirnya menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka.
Lalu apa itu akidah?
Akidah secara bahasa diambil dari kata al-‘Aqd. Ibnul Mandzur mengatakan: al-‘Aqdu adalah lawan kata al-Hall (melepaskan).[2] Maka al-‘Aqdu adalah mengikat. Diungkapkan dalam bahasa arab ‘Aqadtul Habla yang artinya saya mengikat tali, dikatakan demikian, karena ialah yang mengikat hati manusia, atau dalam bahasa sederhana kita adalah keyakinan.
Sementara menurut istilah akidah islamiyah adalah iman yang kuat kepada Allah ta’ala, dan segala macam yang wajib berupa tauhid, beriman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, takdir-Nya yang baik ataupun yang jelek, juga segala macam cabang dari dasar-dasar ini yang masuk ke dalam landasan agama.[3]
Jadi bahasan akidah secara umum adalah rukun iman dan segala macam hal yang berkaitan dengannya, yang mudah-mudahan kita bisa membahasnya secara berkelanjutan sesuai dengan urutan rukun iman insya Allah.
Akidah yang mana??
Insya Allah semua orang setuju dengan akidah yang benar, tapi akidah yang mana? Dan tentunya setiap kelompok mengaku bahwa akidahnya-lah yang benar, tetapi pengakuan saja tidaklah cukup mesti ada pembuktian, buktinya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, lalu difahami dengan pemahaman kaum salaf.
Seorang penyair berkata:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ
“Setiap lelaki mengaku kekasih Laila namun Laila tidak pernah mengakuinya”.
Jadi, akidah yang benar adalah akidah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah.
Sebagian ulama menamakan akidah yang benar dengan sebutan as-Sunnah, bahkan sebagian dari mereka menamakan tulisannya dalam masalah akidah dengan judul as-Sunnah, seperti kitab imam Ahmad dan kitab Ibnu Abi Ashim yang diberi judul as-Sunnah.
Dinamakan as-Sunnah sebagai pembeda antara akidah yang benar yang berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akidah lainnya.
Ada juga yang menamakannya dengan sebutan Ushulud Din dan ada pula yang menamakannya al-Fiqhul Akbar.
Berikut ini dalil yang menjelaskan wajibnya berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا ٱخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَىْءٍ فَحُكْمُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبِّى عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Rabb-ku. kepada-Nya lah Aku bertawakkal dan kepada-Nyalah Aku kembali”. (QS. Asy-Syura [42]: 10).
Allah subhanahu wa ta’ala pun memerintahkan kita untuk mengembalikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.(QS. al-‘A’raf [7]: 3).
Kita pun diperintahkan untuk memahami keduanya dengan metode kaum salaf, karena merekalah yang paling tahu tentang makna-makna al-Qur’an, bukan dengan sembarang penafsiran, dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah [9]: 100).
Syaikh Amin as-Syinqithi berkata: “Ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa, orang yang mengikuti para pendahulu dari kalangan muhajirin dan anshar dengan baik, mereka semua masuk bersama mereka ke dalam keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, juga janji Allah bahwa mereka kekal dalam surga dan kesuksesan yang agung.[4]
Dan dengan pemahaman siapa al-Qur’an juga as-Sunnah ini difahami jika bukan dengan pemahaman mereka ?
Sungguh ini bukan masalah kecil, karena kita tahu bahwa setiap kelompok mengaku berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi tetap saja banyak di antara mereka yang tersesat, karena al-Qur’an dan as-Sunnah itu difahami dengan pemahaman mereka sendiri.
Sebab penyimpangan dalam masalah akidah[5]:
- Tidak mengetahui akidah yang benar dengan tidak berusaha untuk mempelajari rincian beserta dalilnya.
- Fanatik terhadap keyakinan nenek moyang walaupun sebenarnya merupakan kebatilan.
- Bersikap ghuluw (melampaui batas) terhadap para wali, orang shalih dan yang lainnya, sehingga mengangkat mereka di atas derajatnya dan meletakan sifat yang hanya pantas untuk Allah kepada mereka.
- Terpesona dengan kemampuan manusia, ilmu dan penemuan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka, sementara lalai dari kekuasaan-Nya yang sangat luas lagi meliputi segala sesuatu, dan bahwasanya Dialah Allah subahanhu wa ta’ala yang telah memberikan segalanya.
- Kedua orang tua yang menyimpang, juga masyarakat dan media masa.
Nah…untuk sebagian orang mungkin agak bingung, yang mana yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah itu, apalagi ditambah dengan ketentuan mesti dengan pemahaman salaful ummah.
Maka teruslah belajar dan ingat perkataan Imam Ibnu Sirin, “Ilmu ini bagian penting dalam agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama ini !”
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita berharap, semoga Dia mengucurkan ilmu kepada kita semua agar kita benar-benar menjadi hamba-Nya yang berakidah lurus, akidah yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentunya ini semua menuntut kita untuk sungguh-sungguh mencurahkan segala tenaga dan kemampuan untuk mendapatkannya, bukan hanya usaha sambilan yang tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Wallahu a’lam Wabillahi at-Taufiku wal Hidayah.
Footnote
[1] Adwaul Bayan buah karya Syaikh Amin asy-Syinqithi. (III/ 236) cetakan Darul Hadits Kairo.
[2] Lisanul ‘Arab jilid (VI/ 353) cetakan Darul Hadits Kairo
[3] Tahdzibul Akidah al-Islamiyyah buah karya Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz al-Jibrin, hal 1
[4] Adwaul Bayan (II/ 312) cetakan Darul Hadits Kairo.
[5] Muqarrar maaddatul akidah, hal 12 cetakan Giras lin Nasyri wat Tauzi.