Penulis: Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc hafizhahullah
#Bagian Pertama
Allah telah mengizinkan manusia untuk menciptakan berbagai media sosial yang memudahkan komunikasi antar individu, memungkinkan mereka untuk terhubung dengan berbagai tempat di dunia.
Media ini memungkinkan banyak orang untuk berpartisipasi dan menampilkan karya mereka yang mungkin tidak bisa mereka lakukan sebelumnya.
Media sosial juga membantu menghidupkan kembali hubungan lama, mendekatkan mereka yang jauh, dan memungkinkan pembentukan komunitas online, pertukaran pendapat, diskusi, dan kolaborasi.
Namun media sosial memiliki aspek negatif dan positif, baik dan buruk, sunnah dan bid’ah, Islam dan kekufuran, tauhid dan syirik, pengetahuan yang benar dan kebodohan, keyakinan dan keraguan. Dengan demikian, sangat penting bagi kita untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
Berikut adalah di antara adab dan etika penggunaan media sosial:
- Mencari ridha Allah
Allah ‘azza wajalla berfirman,
فَٱدْعُواْ ٱللَّهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ ٱلدِّيْنَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya”.
(QS. Ghafir [40]: 14)
Sebagai seorang Muslim, kita harus selalu berniat untuk meraih keridhaan Allah dalam setiap tindakan kita, termasuk saat berinteraksi di media sosial.
Jika niat kita tulus karena Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan pahala yang besar.
Saat kita membuka situs atau berkomunikasi melalui media sosial, kita harus selalu mengingat Allah dan hari akhirat.
- Merasa diawasi oleh Allah
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَإِنَّ عَلَيْكُم لَحَٰفِظِينَ١٠ كِرَامًا كَٰتِبِينَ١١ يَعلَمُونَ مَا تَفعَلُونَ١٢
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Infithar [82]: 10-12)
Menulis dan berbagi di media sosial adalah sebuah amanah dan tanggung jawab besar. Seorang Muslim harus selalu ingat bahwa Allah mengawasi setiap tindakan dan ucapan.
Hendaknya setiap Muslim menulis dan berbagi hanya yang baik dan bermanfaat, mengingat bahwa setiap kata dan tindakan akan dicatat dan dipertanggungjawabkan.
- Berhati-hati dan mengecek kebenaran informasi
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
(QS. Al-Isra [17]: 36)
Orang yang menyebarkan informasi palsu bertanggung jawab atas dampaknya, termasuk mereka yang hanya mengulang atau membagikan kembali informasi tersebut.
Oleh karena itu, penting untuk mencari sumber yang dapat dipercaya. Jika seseorang ingin mendapatkan pahala dari menyebarkan informasi, maka ia harus memastikan bahwa informasi tersebut berasal dari sumber yang dikenal karena keilmuan dan keakuratannya.
- Bertanya kepada ahli ilmu
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَإِذَا جَآءَهُم أَمر مِّنَ ٱلأَمنِ أَوِ ٱلخَوفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَو رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلأَمرِ مِنهُم لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَستَنبِطُونَهُۥ مِنهُمۗ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”.
(QS. An-Nisa [4]: 83)
Kita harus berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan hanya mengambilnya dari sumber yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kita harus bertanya kepada ahli ilmu dan yang memiliki kapasitas dalam bidangnya, sebelum kita membaca, mempelajari, dan menyebarkan informasi. Karena kalau kita salah, tentunya kita berdosa.
Kita juga harus mempertimbangkan dampak dari berita yang kita sebarkan. Beberapa berita dapat menyebabkan kepanikan atau ketakutan di masyarakat, dan kita harus mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan pemahaman dan emosional para pembaca.
- Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak-anak yang Menggunakan Media Sosial
Allah ‘azza wajalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
(QS. At-Tahriim [66]: 6)
Orang tua memiliki tanggung jawab syar’i terhadap anak-anak mereka yang menggunakan media sosial. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Mengetahui Siapa yang Diikuti
Orang tua harus memahami siapa yang diikuti oleh anak-anak mereka di media sosial. Ini termasuk memahami latar belakang, pemahaman agama, dan kecocokan dengan usia dan minat anak.
- Pentingnya Pemilihan Konten
Orang tua harus membimbing anak-anak dalam memilih konten yang sesuai dan bermanfaat. Mereka harus menghindari mengikuti orang-orang yang menyebarkan ajaran sesat atau berbahaya.
- Bahaya Mengikuti Ahlul Ahwa’ (Ahli Bid’ah)
Para Ulama salaf telah menekankan pentingnya menghindari pergaulan dengan orang-orang yang hanya mengikuti syahwat dan akal dalam beragama. Pergaulan semacam ini dapat merusak hati dan mempengaruhi keyakinan seseorang.
- Berhati-hati dengan Musik dan Lagu-lagu
Kita harus menghindari mendengarkan lagu-lagu, bisa jadi di dalamnya mengajak kepada maksiat, serta mengandung ajaran sesat. Musik dan lirik-liriknya dapat mempengaruhi hati dan keyakinan kita.
- Nasihat Melalui Media Sosial
Nasihat adalah kewajiban dalam Islam. Namun, memberikan nasihat memiliki aturan dan tata cara tersendiri. Terkadang, nasihat bisa diberikan secara terbuka, dan terkadang secara pribadi tergantung pada situasi. Jika kita memulai dengan nasihat secara pribadi dan tidak diterima, maka kita bisa menyampaikannya secara terbuka.
Bagi mereka yang aktif di media sosial, penting untuk menerima kebenaran dan mengoreksi pandangan kita jika ternyata salah. Kita harus bersedia meminta maaf, mengoreksi kesalahan, dan memberikan peringatan jika ada yang keliru.
- Berkatalah yang baik dan sopan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا، وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا، فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لِمَنْ أَطَابَ الْكَلام.
“Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang dapat dilihat luarnya dari dalamnya, dan dalamnya dari luarnya.” Maka seorang badui berkata, “Untuk siapa itu, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Untuk orang yang baik perkataannya”.[1]
Media sosial kadang-kadang menjadi seperti kehidupan jalanan. Di media sosial, kita sering menemukan kata-kata kasar, gambar-gambar cabul, dan foto-foto yang tidak pantas.
Oleh karena itu, kita harus memperhatikan kualitas percakapan kita di media sosial. Allah membenci perkataan kotor dan cabul. Ketika kita berbicara di media sosial, kita harus memastikan bahwa pesan yang kita sampaikan tidak mengandung kata-kata atau gambar yang tidak pantas. Kita juga harus memperhatikan waktu yang kita habiskan di media sosial, karena terlalu banyak waktu yang terbuang di sana dapat mengakibatkan kecanduan dan membuang-buang usia kita.[2]
Referensi:
- [1] (HR. Ahmad, no. 1338)
- [2] Diringkas dan dialihbahasakan dari tulisan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, yang dipublikasikan pada: https://almunajjid.com/lectures/lessons/235, dengan penyesuaian.
Dikutip dari: