Agar Hidup dan Harta Kita Lebih Barokah

بسم الله الرحمن الرحيم

AGAR HIDUP dan HARTA KITA LEBIH BAROKAH

Arti barokah:

Kata Barokah dalam bahasa arab mengandung beberapa arti, yakni tetap, banyak dan berkembang atau bertambah, juga berarti kebahagiaan.[1]

Jadi jika kita menginginkan keberkahan dalam harta artinya kita berharap agar harta yang ada tetap bahkan bertambah dan menjadi sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Makna Barokah dalam al-Qur’an:

Kata Barokah dengan ragam turunannya disebutkan sebanyak 34 kali dalam al-Qur’an[2], dan makna kalimat tersebut sama dengan makna secara bahasa, misalnya dalam ayat-ayat berikut: 

وَأَوۡرَثنَا ٱلقَومَ ٱلَّذِينَ كَانُواْ يُستَضعَفُونَ مَشَٰرِقَ ٱلأَرۡضِ وَمَغَٰرِبَهَا ٱلَّتِي بَٰرَكنَا فِيهَاۖ

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-A’raf [7]: 137)

Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah berkata: “Maksudnya adalah negeri yang telah kami jadikan kebaikan di dalamnya tetap bagi penduduknya”.[3]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيت وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكا وَهُدى لِّلعَٰلَمِينَ 

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. (QS. Ali Imran [3]: 96).

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikannya berkah karena berlipat gandanya kebaikan, jadi barokah itu artinya banyaknya kebaikan”.[4]

Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: 

قَالُوٓاْ أَتَعجَبِينَ مِن أَمرِ ٱللَّهِ رَحمَتُ ٱللَّهِ وَبَرَكَٰتُهُۥ عَلَيكُم أَهلَ ٱلبَيتِ إِنَّهُۥ حَمِيد مَّجِيد

 “Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah”. (QS. Hud [11]: 73).

Al-Farra rahimahullah berkata:Al-Barakat artinya adalah kebahagiaan”.[5]

Demikianlah arti kata Barokah, selanjutnya diantara kalimat yang sering kita dengar dan berkaitan dengan kata Barokah adalah kataTabarruk atau ngalap berkah, yakni meminta keberkahan.

Sebagaimana dimaklumi bahwa kebaikan dan kebahagiaan itu ada di tangan Allah, maka tidak boleh kita Tabarruk kepada selain Allah atau dengan cara yang tidak ditetapkan dalam agama, karena Tabarruk itu bagian daripada berdo’a atau memohon, sementara do’a adalah ibadah yang tidak boleh kita lakukan kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala, juga mesti dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala

Keberkahan itu dari Allah Ta’ala:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata: “Dulu kami menganggap bahwa mukjizat itu adalah keberkahan sementara kalian menganggapnya sesuatu yang menakutkan. Pernah kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, ketika itu air sangat sedikit, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Carilah oleh kalian sisa air !” lalu mereka membawakan sebuah wadah dengan air yang sangat sedikit di dalamnya, beliau pun memasukan tangannya ke dalam air, kemudian berkata: “Mari kepada air yang penuh dengan berkata, dan keberkahan itu hanya dari Allah”. Aku melihat air itu mengalir diantara jari-jari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan aku pernah mendengar makanan bertasbih ketika sedang dimakan”.  

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan tegas bahwa, keberkahan itu dari Allah. Diantara hikmahnya agar manusia tidak menduga bahwa, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan keberkahan.

Jika baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak memiliki keberkahan, apalagi yang lainnya. Kalaupun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keberkahan pada dirinya, maka itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang menetapkannya, dan Allah Subhanahu wa ta’ala yang memberikannya. 

Sebab-sebab keberkahan:

1. Bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala:

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَو أَنَّ أَهلَ ٱلقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَواْ لَفَتَحنَا عَلَيهِم بَرَكَٰت مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكسِبُونَ 

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raf [7]: 96).

2. Do’a, yakni kita meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala keberkahan:

Dalam hal ini banyak sekali kita dapati do’a-do’a baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memohon keberkahan, misalnya dalam do’a berikut ini:

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: Ibuku berkata: “Wahai Rasulullah, “ini Anas akan menjadi pembantumu, maka do’akanlah ia”, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akannya seraya berkata: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anak-anaknya, dan berkahilah dari setiap pemberianmu untuknya”. (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

Demikian pula untuk dua pasangan yang baru menikah, di dalamnya adalah do’a untuk keberkahan.

3. Mencari rizki dari jalan yang halal:

فَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَمَثَلُهُ، كَمَثَلِ الَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

“Barang siapa yang megambil harta dengan haknya maka dia akan diberkahi, dan barang siapa yang mengambil harta bukan dari haknya, maka ia seperti orang yang makan akan tetapi tidak pernah kenyang”. (Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

4. Mengambil harta dengan kemuliaan jiwa:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ هَذَا المَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ

“Sungguh, harta ini memang enak dipandang mata dan manis, barang siapa yang mengambilnya dengan kemuliaan jiwa maka hartanya diberkahi, dan barang siapa yang mengambilnya dengan berlebihan maka tidak diberkahi”. (Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud dengan kemuliaan jiwa adalah mengambilnya dengan penuh kepuasan, penuh rasa syukur, merasa cukup dengan yang ada, dan tentunya mendapatkannya dengan cara yang halal.

Ini memberikan faidah bahwa, keridhaan seorang mukmin akan rizki yang ia dapatkan tanpa disertai dengan kerakusan dan melihat harta yang ada di tangan orang lain adalah sebab keberkahan.

5. Jujur dalam bermuamalah, jujur dalam melakukan jual beli:

البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، – أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli, keduanya memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah (dari majlisnya), jika keduanya jujur dan menjelaskan (aib barangnya), maka keduanya diberkahi, jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta, maka dihapus keberkahan jual belinya”. (Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Khiyar adalah hak antara melanjutkan akad atau membatalkannya.

6. Beraktifitas segera di pagi hari:

Hal itu berdasarkan do’a baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا

“Ya Allah berkahilah umatku untuk pagi harinya”.

Ada seorang pedagang namanya Shakr dia senantiasa mengutus karyawannya di pagi hari, akhirnya dia menjadi orang kaya sehingga dia tidak tahu mesti diletakan dimana lagi hartanya. (Hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Diantara perkara yang makruh di kalangan orang-orang shalih adalah tidur setelah subuh sampai terbit matahari, ia adalah waktu keberuntungan, dan beraktifitas di waktu tersebut memiliki keutamaan yang sangat agung bagi ahli ibadah, bahkan seandainya mereka berjalan di sepanjang malam, maka mereka tidak menghentikan aktifitasnya di waktu tersebut sehingga terbit matahari, karena ia adalah awal hari dan kuncinya, ia adalah waktu turunnya rizki dan keberkahan”. [6]

Dan masih banyak lagi sebab-sebab keberkahan yang lainnya.

Ditulis oleh,
Ustadz Beni Sarbeni Abu Sumayyah


Footnote:

[1] Lihat kitab Mu’jam Maqayisul Lugah karya Ibnu Faris (4/ 352), Jamharatul Lugah karya Ibnu Duraid (1/ 272), dan Ma’anil Qur’an karya al-Farra (2/ 32).

[2] Lihat kitab at-Tabarruk karya Dr. Nashir bin Abdirrahman bin Muhammad al-Judai, hal: 31.

[3] Tafsir ath-Thabari 9/ 43.

[4] Tafsir al-Qurthubi 4/ 139.

[5] Ma’ani al-Qur’an karya al-Farra 2/ 23.

[6] Madarijus Salikin 1/ 459.