Keberagaman Sembahan Orang-Orang Musyrik Jahiliyyah: Matahari, Bulan, Malaikat dan Nabi

KEBERAGAMAN SEMBAHAN ORANG-ORANG MUSYRIK JAHILIYAH: MATAHARI, BULAN, MALAIKAT, DAN NABI

Oleh: Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan

a. Dalil tentang para penyembah matahari dan bulan

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, mata-hari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Fussilat [41]: 37)

Ayat ini menunjukan adanya orang yang bersujud kepada matahari dan bulan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika terbit dan tenggelamnya matahari sebagaiamana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma:

لَا يَتَحَرَّى أَحَدُكُمْ فَيُصَلِّي عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلَا عِنْدَ غُرُوبِهَا

“Janganlah salah seorang dari kalian sengaja shalat ketika matahari sedang terbit dan atau ketika saat terbenam.” (HR. Al-Bukhari, no. 585, Muslim, no. 828)

Larangan ini adalah sebagai pencegahan untuk menutup celah keburukan, karena ada orang yang sujud kepada matahari ketika sedang terbit dan terbenam. Kita dilarang shalat pada kedua waktu ini, walaupun shalat itu ikhlas karena Allah, akan tetapi karena shalat pada dua waktu ini menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, maka shalat menjadi terlarang, untuk menutup pintu yang dapat menyebabkan kepada kemusyrikan. Dan Rasulullah diutus untuk melarang kemusyrikan serta menutup segala jalan yang akan mengakibatkan kemusyrikan tersebut.

b. Dalil tentang para penyembah malaikat

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim?” (QS. Ali Imran [3]: 80)

Ayat di atas menunjukkan adanya orang yang beribadah kepada malaikat dan para Nabi, itu adalah kemusyrikan.

Akan tetapi para penyembah kuburan saat ini berkata: “Orang-orang yang memuja para malaikat, Nabi-Nabi dan orang saleh tidaklah kafir.”

c. Dalil tentang para penyembah Nabi

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?’ (Isa) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. (QS. Al-Ma’idah [5]: 116)

Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa memuja Nabi sama dengan memuja berhala.

Ini adalah bantahan bagi orang-orang yang membedakan antara menyembah patung dengan menyembah wali atau orang saleh, mereka mengira bahwa kemusyrikan itu terbatas pada pemujaan berhala saja, ini adalah kesalahan fatal, ditinjau dari dua sisi berikut:

a. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari segala jenis kemusyrikan di dalam Al-Quran, dan memerintahkan agar memerangi semuanya.

b. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu tidak pernah membedakan antara orang yang memuja patung dengan yang memuja orang saleh.

Bersambung in syaa Allah…

Ditulis oleh: Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman)
Referensi:

  • Al-Qawa’idul Arba’, Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab,
  • Syarh Al-Qawa’idul Arba’, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan