Rasulullah Diutus kepada Masyarakat Musyrik yang Beribadah kepada Sembahan yang Beragam, dan Beliau Diperintahkan untuk Memerangi Semuanya Tanpa Membeda-Bedakan
RASULULLAH DIUTUS KEPADA MASYARAKAT MUSYRIK YANG BERIBADAH KEPADA SEMBAHAN YANG BERAGAM, DAN BELIAU DIPERINTAH UNTUK MEMERANGI SEMUANYA TANPA MEMBEDA-BEDAKAN
Oleh: Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan
3. Kaidah Ketiga:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada masyarakat yang menyekutukan Allah, di antara mereka ada yang menyembah malaikat, matahari, bulan, patung, bebatuan, pepohonan, wali-wali dan orang saleh.
Inilah di antara buruknya kemusyrikan, bahwa pelakunya tidak bersatu dalam satu sembahan, lain halnya dengan orang-orang yang bertauhid, mereka menyembah satu sembahan saja, yaitu Allah.
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa?.” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di antara keburukan dan kebatilan kemusyrikan adalah bahwa pelakunya bercerai berai dalam peribadatan mereka, tidak ada aturan yang dapat mempersatukan mereka. Karena mereka tidak beribadah di atas sebuah prinsip. Namun ibadah berdasarkan selera dan mengikuti ajakan orang-orang yang menyesatkan. Maka banyak sekali perbedaan di antara mereka.
Allah memberikan permisalan keadaan orang musyrik dan keadaan orang yang bertauhid:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا ۚ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar [39]: 29)
Orang yang mentauhidkan Allah dalam ibadah, seperti hamba sahaya yang hanya memiliki satu tuan saja, dimana dia mengerti maksud dan keinginan tuannya secara mudah. Adapun orang musyrik, maka sperti seorang budak yang memiliki beberapa tuan, sehingga dia kebingungan harus memuaskan siapa, karena setiap tuan memiliki selera dan keinginan masing-masing, setiap tuan ingin ditaati. Oleh karena itu Allah berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan,
Yaitu budak yang dimiliki beberapa orang, sehingga membuat budak itu bingung harus membuat puas tuan yang mana.”
وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ
“Dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja).”
Yaitu seorang budak yang hanya memiliki satu tuan, yang membuatnya lebih mudah. Inilah Permisalan yang Allah sebutkan untuk orang-orang musyrik dan yang mentauhidkan Allah.
Rasulullah tidak membeda-bedakan kemusyrikan:
Orang-orang musyrik itu beraneka ragam dalam ibadah mereka, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka semua tanpa pandang bulu. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerangi para penyembah patung, orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi. Memerangi semua orang-orang yang menyekutukan Allah, bahkan memerangi yang beribadah kepada Malaikat, para wali dan orang-orang saleh.
Ini adalah bantahan bagi orang-orang yang berkata: “Yang menyembah patung itu berbeda dengan yang menyembah orang saleh dan malaikat, karena para pemuja patung menyembah pepohonan, bebatuan, memuja benda-benda mati. Maka tentu berbeda antara yang memuja wali dengan yang memuja berhala.”
Maksud mereka adalah, orang-orang yang memuja kuburan saat ini hukumnya berbeda dengan yang menyembah patung, maka yang memuja kuburan itu tidak kufur dan perbuatannya tidak musyrik, sehingga tidak boleh diperangi.
Maka kita katakan: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dahulu tidak tebang pilih dalam memerangi kemusyrikan, semuanya divonis musyrik, darah dan harta mereka dihalalkan tanpa pandang bulu terhadap yang menyembah Isa al-Masih yang merupakan Rasulullah, juga terhadap orang-orang Yahudi yang menyembah ‘Uzair, seorang Nabi, orang saleh di kalangan mereka. Semuanya diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membeda-bedakan di antara mereka.”
Kemusyrikan adalah kemusyrikan, tiada beda antara yang memuja orang saleh dengan yang memuja patung, batu atau pohon. Karena hakikat kemusyrikan adalah beribadah kepada selain Allah, apapun itu. Oleh sebab itu Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisa [4]: 36)
Kata “sesuatu” (شَيْئًا) pada ayat di atas bentukanya adalah nakirah (Isim nakirah adalah kata benda yang belum ditentukan untuk menunjukkan kata benda yang mana, yang bagaimana, adanya dimana, milik siapa, dan sebagainya, sehingga tidak bisa menyebutkan atau menunjukkan benda tersebut, karena maknanya bersifat umum) dalam konteks larangan, sehingga larangan menyekutukan pada ayat di atas itu umum mencakup segala sesuatu yang disekutukan dengan Allah, baik Malaikat, Rasul, orang saleh, wali, batu dan pohon.
Dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang musyrik tanpa membeda-bedakan mereka adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Perintah Allah “Dan perangilah mereka” (وَقَاتِلُوهُمْ), ini umum mencakup semua orang musyrik tanpa ada seorang pun yang dikecualikan. Lalu Allah berfirman: “sampai tidak ada lagi fitnah” (حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةً). Fitnah artinya adalah kemusyrikan; supaya tidak ada lagi kemusyrikan. Kemusyrikan di sini umum, meliputi kemusyrikan dengan wali, orang saleh, batu, pohon, matahari maupun bulan.
“Dan agama hanya bagi Allah semata” (وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ): sehingga ibadah hanya kepada Allah saja, tidak ada persekutuan bagi-Nya, apapun itu, dari kalangan wali, orang saleh, batu, pohon, syaithan atau yang lainnya..
Ditulis oleh: Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman)
Referensi:
- Al-Qawa’idul Arba’, Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab,
- Syarh Al-Qawa’idul Arba’, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan