بسم الله الرحمن الرحيم TASHFIYAH DAN TARBIYAH Mukaddimah: Segala puji hanya milik Allah, kami memujiNya, memohon pertolongan, dan ampunan, juga kem
بسم الله الرحمن الرحيم
TASHFIYAH DAN TARBIYAH
Mukaddimah:
Segala puji hanya milik Allah, kami memujiNya, memohon pertolongan, dan ampunan, juga kembali kepadaNya, kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa kami, dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa diberikan petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada orang yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi, sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah, yang tidak ada serikat bagiNya, dan aku bersaksi, sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusanNya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar menampakannya di atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepadanya, keluarga dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Islam adalah paket lengkap sebagai rahmat bagi seluruh alam, barang siapa menunaikannya maka dia akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, tetapi tentu saja Islam dengan makna yang benar bukan sekedar pengakuan.
Selanjutnya ketika seluruh manusia menginginkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat, maka tidak ada cara lain guna mendapatkannya kecuali dengan mewujudkan Islam tersebut, oleh sebab itu jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah semata, karena ibadah adalah inti daripada Islam.
Demikianlah yang dirasakan oleh umat ini di kurun pertama, merekalah yang telah mewujudkankan Islam dengan sebenarnya, sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya, karena itu mereka dipuji oleh Allah dan RasulNya, lalu manhaj (metode beragama) mereka dijadikan sandaran dalam memahami agama ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
‘Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar.’ [QS. at-Taubah : 100]
Masa keemasan berlalu, puncak kebesaran telah pergi, kemudian datanglah zaman dimana model umat Islam sangat jauh dari para pendahulu mereka, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka jauh dari ajaran Islam yang shafi (jernih) dan tenggelam dalam penyimpangan, kesesatan menyebar bagaikan jamur, bid’ah-bid’ah merambah ke seluruh kalangan, yang awam ataupun kepada mereka yang dianggap alim, demikianlah adanya karena gejala terebut telah dirasakan pada kurun pertama, sehingga suatu hari Anas bin Malik berkata, ‘Aku tidak mengetahui sesuatu yang ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ada pada masa sekarang)?’ lalu seseorang berkata, ‘Bagaimana dengan Shalat?’, Anas menjawab, ‘Bukankah kalian telah mengabaikan apa-apa yang ada di dalamnya?! [1]
Oleh karena itu perhatian para sahabat sangat besar dalam menjaga sunnah, dan sangat keras sikap mereka terhadap bid’ah, sebab mereka tahu, bahwa sekecil apapun bid’ah tersebut, maka ia adalah penyimpangan yang sangat besar, dan sekecil apapun bid’ah tersebut, maka sesungguhnya ia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam melemparkan umat Islam ke dalam penyimpangan yang lebih besar, buktinya ketika seseorang melalaikan bid’ah yang kecil, maka ia akan menjadi dalil untuk melakukan bid’ah yang paling besar, pada awalnya bid’ah tersebut hanya merupakan kemaksiatan, lalu ia akan menjadi dalil untuk melakukan bid’ah yang bersifat kekufuran, dan demikianlah seterusnya.
Coba perhatikan bagaimana sikap seorang sahabat yang bernama Ibnu Mas’ud di dalam hadits ini, yang diriwayatkan oleh ad-Darimi, beliau berkata, “Al-Hakam bin Mubarak telah mengabarkan kepada kami, Amr bin Yahya telah mengabarkan kepada kami, beliau berkata, Aku mendengar bapakku meriwayatkan dari bapaknya, dia berkata, ‘Adalah seperti biasa kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh, Lalu jika dia keluar, maka kami berjalan bersamanya menuju masjid. Suatu hari datanglah Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, ‘Apakah Abu Abdirrahman telah keluar menemui kalian?’ kami menjawab, ‘Belum’. Akhirnya beliau pun duduk bersama kami sehingga (Ibnu Mas’ud) keluar.
Setelah beliau keluar kita semua berdiri, lalu Abu Musa berkata, ‘Wahai Aba Abdirrahman, aku tadi (malam) telah melihat di masjid, sesuatu yang tidak aku kenal, akan tetapi aku tidak melihat padanya kecuali kebaikan.’ (singkat cerita), Abu Musa menceritakan adanya satu kaum di masjid, dimana mereka dibagi menjadi beberapa halaqah, setiap halaqah ada pemimpin, dengan beberapa butir kerikil di tangannya, dia berkata, ‘Bertakbirlah seratus kali!’ bertahlillah seratus kali!’ bertasbihlah seratus kali!
Kemudian mereka pergi menuju halaqah tersebut, akhirnya Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka, ‘Apakah yang kalian lakukan?’ mereka menjawab, ‘Wahai Aba Abdirrahman! Ini adalah kerikil- kerikil, dengannya kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih.’ Lalu beliau berkata, ‘Hitung saja keburukan kalian, aku menjamin, bahwa kebaikan yang kalian lakukan tidak akan pernah hilang, celakalah kalian wahai ummat Muhammad, sungguh cepatnya kalian tersesat, ini sahabat-sahabat Nabi kalian – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – mereka masih banyak, baju beliau pun Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum lapuk, wewadahannya pun belum pecah, demi Allah yang diriku ada di TanganNya, sesungguhnya jika kalian tidak berada dalam petunjuk yang lebih lurus dari agama Muhammad, maka kalian adalah pembuka pintu-pintu kesesatan’, lalu mereka berkata, ‘Wahai Aba Abdirrahman, tidak ada yang kami inginkan kecuali kebaikan,’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak kaum yang meniatkan kebaikan, akan tetapi dia tidak mendapatkannya’. [2]
Demikianlah sikap Ibnu Mas’ud yang sangat keras terhadap bid’ah, sekecil apapun bid’ah tersebut.
Syekh al-Albani dalam Silsilatul Ahadits ash-Shahihah berkata: ‘Diantara pelajaran yang bisa diambil dari hadits tersebut adalah, sesungguhnya bid’ah yang kecil media menuju bid’ah yang besar, tidakkah anda melihat! Sesungguhnya para pelaku bid’ah dalam hadits tersebut menjadi khawarij yang diperangi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, adakah dari kalian yang mengambil pelajaran darinya? [3]
Sekilas mungkin kita akan menduga bahwa itu adalah kebaikan, sekilas….itu adalah masalah kecil, bahkan Abu Musa berkata, ‘Wahai Aba Abdirrahman, tadi…aku melihat sesuatu yang tidak aku kenal sebelumnya, akan tetapi aku tidak melihat padanya kecuali kebaikan’, lalu perhatikan bagaimana akhir dari nasib mereka, mereka bergabung dengan orang-orang khawarij, yang pada hari kiamat mereka akan menjadi kawan-kawan orang yahudi dan mengikuti dajjal.
Demikianlah sikap para sahabat, yang semuanya tidak keluar dari usaha dalam memurnikan ajaran Islam, dengan istilah lain at-Tashfiyah, dan membina umat menuju pengamalan Islam yang murni, atau dalam istilah lainnya adalah at-Tarbiyah.
Walhasil Tashfiyah dan Tarbiyah adalah model usaha Nabi dan kaum salaf dalam mengembalikan kaum muslimin kepada agamanya atau kepada ajaran yang benar, bahkan itulah satu-satunya cara sehingga kaum muslimin bisa kembali kepada ajaran Islam yang murni, lalu ingatlah perkataan Imam Malik:
لَنْ يَصْلُحَ آخرُ هَذهِ الأمةِ إِلاَّ بما صَلُحَ بهِ أَوَّلها ؛ فَمَا لَمْ يَكُنْ يوْمئذ دينا لاَ يَكُونُ اليَوم دِينا
‘Akhir umat ini tidak akan pernah baik, kecuali dengan (perbaikan) yang dilakukan oleh awal umat ini, maka perkara yang bukan agama kala itu , bukan pula agama pada hari ini’. [4]
Ditulis oleh,
Ustadz Beni Sarbeni, Lc
_______________
Footnote:
[1] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
[2] Dishahihkan oleh syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits as-Shahihah (V/ 4-no: 2005) al-Maktabatusy Syamilah.
[3] Silsilatul Ahadits as-Shahihah (V/ 4-no: 2005) al-Maktabatusy Syamilah.
[4] Al-Wajiz fi Akidatis Salafis Shalih (I/ 161) al-Maktabatusy Syamilah.