Manhaj Salaf dalam Akidah

MANHAJ SALAF DALAM AKIDAH

Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

Secara ringkas, manhaj salaf dalam akidah adalah sebagai berikut:

1. Mereka membatasi sumber pengambilan akidah hanya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan memahami keduanya berdasarkan pemahaman As-salaf As-Shalih.

2. Menggunakan sunnah yang shahih sebagai hujjah (argumentasi) dalam perkara akidah, sama saja sunnah tersebut mutawatir atau ahad.

3. Tasliim (tunduk) kepada apa yang dibawa oleh wahyu, tidak membantah dengan akal dan tidak memperdebatkan perkara-perkara gaib yang di dalamnya tidak ada ruang untuk akal.

4. Tidak menceburkan diri dalam ilmu kalam dan filsafat

5. Menolak takwil batil

6. Menghimpun nash-nash (teks-teks Al-Quran dan Hadits) yang saling berkaitan dalam satu permasalahan (Diringkas dari kitab Duruus Fil Manhaj, karya Syaikh yang mulia Abdullah Al-‘Ubailaan).

Hal demikian diketahui melalui penelitian terhadap manhaj salaf dalam akidah.

Akidah ini diambil dari mata air yang jernih: yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jauh dari hawa nafsu dan syubhat.

Orang yang berpegang teguh dengan akidah ini akan mengagungkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah; karena dia mengetahui bahwa yang ada di dalam keduanya adalah kebenaran.

Imam Al-Barbahaari berkata:

وَاعْلَمْ -رَحِمَكَ اللهُ- أَنَّ الدِّينَ إِنَّمَا جَاءَ مِنْ قِبَلِ اللهِ، لَمْ يُوضَعْ عَلَى عُقُولِ الرِّجَالِ وَآرَائِهِمْ، وَعِلْمُهُ عِنْدَ اللهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ؛ فَلَا تَتَّبِعْ شَيْئًا بِهَوَاكَ فَتَمْرُقُ مِنْ الدِّينِ؛ فَتَخْرُجُ مِنَ الإِسْلَامِ؛ فَإِنَّهُ لَا حُجَّةَ لَكَ، فَقَدْ بَيَّنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّتِهِ السَّنَةَ وَأَوْضَحَهَا لِأَصْحَابِهِ، وَهُمْ الجَمَاعَةُ، وَهُمُ السَّوَادُ الأَعْظَمُ، وَالسَّوَادُ الأَعْظَمُ: الحَقُّ وَأَهْلُهُ

“Ketahuilah -semoga Allah memberikan rahmat kepadamu- sesungguhnya agama itu hanya berasal dari Allah, tidak dibuat berdasarkan akal orang-orang dan pemikiran mereka. Ilmu tentang agama hanya dimiliki Allah dan Rasul-Nya; oleh karena itu janganlah mengikuti hawa nafsu sedikit pun, karena akan membuatmu melesat keluar dari agama islam; tidak ada alasan bagimu (untuk mengikuti hawa nafsu) karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan sunnah kepada umatnya dan menerangkannya kepada para sahabatnya, para sahabatlah yang disebut Al-Jama’ah, mereka pula As-Sawaadul A’zham (Mayoritas kaum muslimin), As-Sawaadul A’zham adalah kebenaran dan orang yang berpegang teguh dengan kebenaran itu”. (Syarhus Sunnah, halaman 66)

Sebelumnya, Imam Al-Barbahaari juga berka:

وَالأَسَاسُ الَّذِي تُبْنَى عَلَيْهِ الجَمَاعَةُ، وَهُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَحِمَهُمُ الله أَجْمَعِينَ، وَهُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةُ، فَمَنْ لَمْ يَأْخُذْ عَنْهُمْ فَقَدْ ضَلَّ وَابْتَدَعَ، وَكُلُّ بِدْعَةِ ضَلَالَةٌ، وَالضّلَالَةُ وَأَهْلُهَا فِي النَّارِ.

“Asas yang menjadi prinsip Al-Jama’ah -mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, semoga Allah merahmati mereka, mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah- siapa yang tidak mengambil agama dari mereka maka benar-benar akan tersesat dan melakukan bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, setiap kesesatan dan pelakunya berada di dalam neraka (terancam)”

Imam Al-Barbahaari juga berkata, Umar bin Al-Khaththaab radhiyallaahu ‘anhu berkata:

لَا عُذْرَ لِأَحَدٍ فِي ضَلَالَةٍ رَكِبَهَا حَسِبَهَا هُدًى، وَلَا فِي هُدًى تَرَكَهُ حَسِبَهُ ضَلَالَةً، فَقَدْ بُيِّنَتِ الْأُمُوْرُ، وَثَبَتَتِ الحُجَّةُ، وَانْقَطَعَ الْعُذْرُ.

“Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan penyimpangan yang ia sangka sebagai petunjuk dan tidak ada alasan meninggalkan petunjuk karena ia menyangkanya sebuah kesesatan, karena setiap perkara (agama) telah dijelaskan, hujjah telah tegak dan tiada lagi uzur”

وَذَلِكَ أَنَّ السُّنَّةَ وَالجَمَاعَةَ قَدْ أَحْكَمَا أَمْرَ الدِّيْنِ كُلِّهِ، وَتَبَيَّنَ لِلنَّاسِ، فَعَلَى النَّاسِ الْاِتِّبَاعُ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya As-Sunnah dan Al-Jama’ah telah menyempurnakan perkara agama seluruhnya, sehingga menjadi jelas bagi manusia, maka kewajiban mereka adalah ittiba’ (mengikuti)” (Syarhus Sunnah, halaman 66)

Saya (penulis) berkata: di antara karakteristik manhaj salaf adalah:

1. Orang yang bermanhaj salaf tegar di atas sunnah, tidak mudah goyah seperti para pengikut hawa nafsu.

Hudzaifah berkata kepada Abu Mas’uud:

“Kesesatan itu adalah membenarkan apa yang kamu anggap sebagai kemungkaran dan mengingkari apa yang engkau ketahui kebenarannya, janganlah engkau berbeda-beda dalam prinsip beragama, karena agama Allah itu satu”.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Umumnya, Ahli hadits dan Ahlussunnah berkali lipat lebih teguh dan konsisten daripada ahli kalam dan ahli filsafat”. (Majmuu’ Al-Fataawaa (4/15)).

Beliau juga berkata:

“Sesungguhnya Ilmu, keyakinan, keteguhan, ketegaran dalam kebenaran, ucapan yang kokoh dan kemantapan dalam menganut prinsip pada pada orang-orang awam dan ulama-ulama Ahlussunnah adalah sesuatu yang tak seorang pun yang mengingkarinya kecuali orang yang Allah cabut akal dan agamanya”. (Majmuu’ Al-Fataawaa (4/19)).

2. Orang yang bermanhaj salaf bersatu di atas akidah, mereka tidak berselisih, walaupun generasi dan tempat mereka berbeda-beda. (lihat kitab Al-Hujjah Liqawwaamis Sunnah (2/225)).

3. Orang yang bermanhaj salaf adalah orang yang paling mengetahui keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan beliau dan ucapan-ucapannya, paling mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidak, sehingga mereka menjadi orang yang paling cinta kepada sunnah, paling semangat untuk mengikutinya dan paling terdepan dalam membela Ahlussunnah.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata:

“Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadi makhluk yang paling sempurna, paling mengetahui kebenaran, paling lurus ucapan dan keadaannya; maka sudah pasti, orang yang paling mengenal beliau akan menjadi orang yang paling mengetahui hal itu juga. Orang yang paling sesuai dengan beliau dan paling meneladaninya, maka akan menjadi manusia paling utama”. (Majmuu’ Al-Fataawaa (4/140, 141)).

4. Orang yang bermanhaj salaf meyakini bahwa cara beragama As-Salaf Ash-Shalih adalah cara yang paling selamat, lebih ilmiyah dan lebih bijaksana; tidak seperti apa yang diklaim oleh ahli Kalam : bahwa cara beragama salaf lebih selamat, namun cara beragama khalaf (generasi belakangan) lebih ilmiyah dan lebih bijaksana.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah membantah tuduhan ini, beliau berkata:

“Mereka telah membuat kedustaan terhadap cara beragama salaf, dan mereka keliru karena membenarkan cara beragama generasi belakangan (khalaf); pada mereka terhimpun kebodohan terhadap cara beragama salaf; dengan membuat kedustaan. Dan kebodohan serta kesesatan; dengan membenarkan cara beragama generasi belakangan”)). (Majmuu’ Al-Fataawaa (5/9)).

5. Orang yang bermanhaj salaf memiliki semangat untuk menyebarkan akidah yang benar dan agama yang lurus, mengajarkan ilmu kepada manusia, memberikan nasihat kepada mereka dan membantah orang-orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah.

6.Orang yang bermanhaj salaf adalah orang yang pertengahan di antara kelompok-kelompok.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Ahlus Sunnah di dalam islam itu seperti orang islam di antara agama-agama yang lain”.

Beliau juga berkata:

“Ahlus sunnah wal jama’ah dalam bab nama-nama Allah, adalah kelompok pertengahan antara Jahmiyyah yang mengingkari dan kelompok Musyabbihah yang membuat perumpamaan, dan mereka adalah kelompok pertengahan dalam bab perbuatan-perbuatan Allah, antara Qadariyyah dan Jabariyyah, dalam bab ancaman, pertengahan antara Murji’ah dengan Wa’iidiyyah dari sekte Qadariyyah dan yang lainnya. Dalam bab cakupan-cakupan iman dan agama, pertengahan antara Haruuriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah dan Jahmiyyah, tentang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Ahlus Sunnah pertengahan antara Rafidhah dan Khawarij. (Majmuu’ Al-Fataawaa (3/141), lihat juga Wasathiyyatu Ahlissunnah Baina Al-Firaq (235 dan halaman setelahnya), Duruus Fil Manhaj, karya Syaikh Abdullah Al-‘Ubailaan (70-73)).

Bersambung in syaa Allah…

Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi, Ad-Daarul Atsariyyah, 2012 M