SYARAT SAH ITTIBA’
Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi
Ittiba’ hanya dikatakan benar apabila memenuhi tiga perkara yang diringkas dari dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah yang telah berlalu, tiga perkara tersebut adalah:
1. Berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak berpecah belah dan berselisih dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
3. Hendaknya ittiba’ kepada Al-Quran dan As-Sunnah dibatasi (diikat) dengan pemahaman Salaf Shalih, tidak dengan pemahaman selain mereka.
Demikianlah syarat benarnya ittiba’, dan termasuk konsekuensi ittiba’ adalah meninggalkan bid’ah di dalam agama, dan telah berlalu pembahasan tentang dalil-dalil syar’i yang memerintahkan ittiba’, memperingatkan buruknya bid’ah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, suatu kabar yang paling menggembirakan dan seutama-utama tujuan yang ingin dicapai oleh setiap mukmin, di mana setiap orang yang di dalam hatinya masih memiliki sedikit keimanan, ia akan berusaha untuk menggapainya. Tidak lain, kabar gembira itu adalah keberhasilan meraih surga dan selamat dari neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَي قَالُوْا وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قاَلَ مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى.
“Setiap umatku pasti akan masuk surga kecuali yang tidak mau”, para sahabat bertanya, “siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “siapa yang taat kepadaku maka ia pasti masuk surga, dan siapa yang durhaka (bermaksiat) kepadaku maka sungguh ia enggan masuk surga”. (HR. Al-Bukhari)
Adakah penolakan dan ketidaksukaan terhadap sunnah yang lebih buruk daripada menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni dengan mengada-adakan perkara baru dalam agama dan melakukan bid’ah?! (Ushuul Iimaan Fii Dhauil Kitaabi Was Sunnah (hal. 296)).
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata:
عَلَيْكُمْ بِالسَّبِيلِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ عَلَى سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ ذَكَرَ الرَّحْمَنَ عَزَّ وَجَلَّ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَمَسَّهُ النَّارُ أَبَدًا، وَإِنَّ اقْتِصَادًا فِي سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنِ اجْتِهَادٍ فِي خِلَافِ سَبِيلٍ وَسُنَّةٍ.
“Hendaknya kalian berpedoman pada jalan yang lurus dan Sunnah, karena tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang akan disentuh neraka selamanya, selagi ia berada di atas jalan yang benar dan Sunnah, di mana ia ingat kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, lalu berderai air matanya karena takut kepada Allah ‘Azza wa jalla. Dan sesungguhnya sederhana dalam jalan kebenaran dan jalan Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan kebenaran dan menyelisihi Sunnah.”
Orang yang memperhatikan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah dia pasti akan mendapati bahwa bid’ah itu diharamkan, terlarang bagi para pelakunya, tanpa ada perbedaan antara suatu bid’ah dengan bid’ah lainnya, walaupun bid’ah itu berbeda-beda derajat keharamannya, tergantung jenis bid’ahnya.
Oleh sebab itulah bentuk larangan bid’ah itu hanya ada satu ragam saja dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ibnu Hibban dan yang lainnya, ini adalah hadits shahih.)
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian darinya, maka tertolak (batil) (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap perkara baru dalam agama dinamakan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan yang tertolak (batil).
Maknanya: sesungguhnya setiap bid’ah dalam ibadah itu diharamkan, namun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan jenis bid’ah itu, sebagian bid’ah itu ada yang merupakan kekufuran jelas, ada yang termasuk sarana menuju kesyirikan, dan ada juga yang merupakan kefasikan (dosa besar) dan maksiat. (lihat kitab Al-iimaan Fii Dhauil Kitaabi Was Sunnah (hal. 298)).
Orang yang mencermati cara beragama orang-orang yang menyimpang, ia akan mengetahui bahwa jalan mereka menyelisihi jalan orang-orang yang berada di atas petunjuk (hidayah).
Allah ta’ala berfirman:
ۗهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali ‘Imran [3]: 7)
Disebutkan dalam shahih Al-Bukhari:
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat dari Al-Quran, maka merekalah yang Allah maksud, waspadalah kalian terhadap mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, maka kamu bukanlah golongan mereka (dan mereka pun bukan golongan kamu).” (Al-An’am [6]: 159)
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’am [6]: 153)
Diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc. (Abu Ayman) dari kitab:
Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi, Ad-Daarul Atsariyyah, 2012 M